JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan keterbukaannya terhadap opsi impor gas alam untuk kebutuhan industri di dalam negeri. Langkah ini diambil menyusul masih adanya kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan pasokan gas dari dalam negeri, terutama untuk sektor industri yang terus tumbuh.
Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, mengatakan bahwa pihaknya mempertimbangkan peluang impor gas sebagai solusi untuk menjamin keberlangsungan operasional industri nasional, terutama di tengah tantangan pasokan domestik yang belum sepenuhnya stabil.
“Kami terbuka terhadap opsi impor gas oleh pelaku industri, apalagi jika opsi itu dinilai mendesak untuk menjaga kelangsungan usaha,” ujar Yuliot Tanjung dalam keterangannya kepada media.
1. Permintaan Gas untuk Industri Terus Meningkat
Indonesia saat ini mengalami lonjakan permintaan gas alam dari sektor industri yang cukup signifikan, seiring dengan pemulihan ekonomi pascapandemi dan peningkatan produksi manufaktur. Sektor industri menyerap sebagian besar konsumsi gas nasional, khususnya untuk sektor pupuk, petrokimia, baja, hingga makanan dan minuman.
Namun, pertumbuhan kebutuhan ini belum sepenuhnya diimbangi dengan suplai gas dari dalam negeri. Beberapa sumber pasokan gas mengalami penurunan produksi alamiah (decline), sementara proyek-proyek pengembangan baru masih membutuhkan waktu untuk beroperasi secara komersial.
2. Pasokan Gas Domestik Belum Optimal
Meski Indonesia dikenal sebagai negara kaya sumber daya energi, kenyataannya pengelolaan gas alam untuk kebutuhan industri masih menemui berbagai kendala. Salah satu tantangan utama adalah terbatasnya infrastruktur distribusi dan keterlambatan dalam realisasi proyek-proyek hulu gas yang strategis.
“Saat ini kebutuhan gas untuk industri sebagian besar masih dipenuhi dari domestik. Namun faktanya, pasokan tidak selalu bisa tersedia saat dibutuhkan,” ungkap seorang pejabat senior di lingkungan Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM.
Kondisi ini membuat sebagian industri mengalami kesulitan mendapatkan pasokan gas yang stabil dan kompetitif, bahkan di wilayah-wilayah yang tidak terjangkau oleh jaringan pipa utama.
3. Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dan Dampaknya
Sebagai bagian dari strategi menjaga daya saing industri, pemerintah sebelumnya telah menetapkan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar USD 6 per MMBTU untuk tujuh sektor industri tertentu, termasuk pupuk, petrokimia, baja, kaca, dan makanan-minuman. Kebijakan ini bertujuan memberikan insentif harga bagi pelaku industri agar tetap kompetitif di pasar global.
Namun, tidak semua industri dapat menikmati kebijakan HGBT ini, terutama bagi pelaku industri yang tidak berada di sektor-sektor prioritas. Dengan demikian, mereka kerap menghadapi harga gas yang lebih tinggi, yang pada akhirnya memengaruhi biaya produksi.
4. Peluang Impor: Solusi atau Tantangan Baru?
Opsi impor gas alam, baik dalam bentuk pipa maupun LNG (Liquefied Natural Gas), kini mulai dipertimbangkan sebagai alternatif jangka pendek hingga menengah. Beberapa pelaku industri bahkan telah menjajaki kerja sama dengan pemasok luar negeri, terutama dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Australia, yang memiliki cadangan gas melimpah dan kapasitas ekspor yang besar.
Kementerian ESDM menyatakan bahwa jika memang diperlukan, mekanisme impor gas akan dilakukan melalui skema yang terkontrol dan tetap mengikuti regulasi yang berlaku.
“Jika memang diperlukan dan tidak tersedia dari dalam negeri, kami akan mengizinkan pelaku industri melakukan impor gas secara mandiri,” tegas Yuliot Tanjung.
5. Implikasi Kebijakan terhadap Investasi dan Daya Saing
Peluang impor gas dinilai memiliki dampak strategis terhadap daya saing industri nasional. Bagi pelaku usaha, kepastian pasokan energi sangat penting untuk menjamin keberlangsungan produksi dan mempertahankan harga produk di pasar.
Namun demikian, beberapa kalangan menilai bahwa membuka keran impor gas harus dilakukan secara hati-hati, agar tidak melemahkan komitmen terhadap pembangunan sektor energi domestik, terutama pengembangan infrastruktur gas nasional seperti jaringan pipa, terminal LNG, dan kilang regasifikasi.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Haryo Wibowo, menekankan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan jangka pendek dan strategi jangka panjang.
“Impor gas memang bisa menjadi solusi cepat, tapi pemerintah tetap harus memperkuat investasi dalam negeri agar ketergantungan terhadap luar tidak berlanjut,” ujarnya.
6. Peran Swasta dan Regulator dalam Skema Impor
Dalam skenario kebijakan terbaru, pemerintah membuka peluang bagi industri untuk melakukan impor gas secara mandiri, dengan catatan harus sesuai dengan peraturan dan diawasi oleh otoritas terkait. Hal ini memungkinkan pelaku industri untuk mendapatkan pasokan gas dari luar negeri jika harga dan ketersediaannya lebih menguntungkan.
Pemerintah juga menyatakan bahwa perusahaan importir gas harus memenuhi syarat teknis, termasuk memiliki izin usaha niaga gas dan kesiapan infrastruktur, baik untuk transportasi maupun distribusi ke dalam sistem domestik.
7. Komitmen Jangka Panjang: Kemandirian Energi Tetap Prioritas
Meski memberikan sinyal positif terhadap opsi impor, pemerintah tetap berkomitmen mendorong kemandirian energi nasional melalui pengembangan sumber gas domestik. Proyek strategis nasional seperti Lapangan Abadi Masela, Blok Andaman, dan Wilayah Kerja (WK) gas di Indonesia Timur terus digenjot untuk memperkuat pasokan gas dalam negeri di masa depan.
Yuliot Tanjung menegaskan bahwa impor hanya akan menjadi langkah taktis dan bersifat jangka pendek.
“Kita tidak ingin bergantung pada impor dalam jangka panjang. Fokus kita tetap pada penguatan sektor hulu gas dalam negeri dan pembangunan infrastruktur energi nasional,” jelasnya.
Menjaga Keseimbangan Energi dan Industri
Keterbukaan pemerintah terhadap opsi impor gas menunjukkan sikap responsif dalam menghadapi dinamika kebutuhan industri dan keterbatasan pasokan domestik. Namun, implementasi kebijakan ini harus dilakukan dengan strategi yang komprehensif dan berimbang agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap sektor energi nasional.
Langkah ini juga harus diikuti dengan peningkatan transparansi, pengawasan, dan kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, serta pemangku kepentingan lainnya demi menjaga keberlanjutan pertumbuhan industri dan ketahanan energi nasional.