JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa kawasan industri di Indonesia berpotensi melakukan impor gas bumi secara mandiri apabila kebutuhan pasokan domestik tidak terpenuhi. Hal ini disampaikan langsung oleh Wakil Menteri (Wamen) ESDM, Yuliot Tanjung, dalam pernyataan resmi terkait kesiapan infrastruktur energi nasional menghadapi lonjakan permintaan industri.
Pernyataan tersebut menandai sinyal baru dalam pengelolaan pasokan gas nasional di tengah meningkatnya kebutuhan energi untuk sektor manufaktur dan hilirisasi industri di berbagai wilayah strategis.
1. Latar Belakang Permintaan Gas Meningkat
Dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi gas bumi di Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang signifikan, terutama dari sektor industri seperti pupuk, petrokimia, logam, dan kawasan ekonomi khusus (KEK). Hal ini sejalan dengan program hilirisasi yang menjadi salah satu prioritas nasional dalam mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis industri bernilai tambah.
Namun demikian, pertumbuhan permintaan ini tidak selalu dapat diimbangi oleh ketersediaan pasokan dari produsen dalam negeri. Keterbatasan infrastruktur, belum meratanya distribusi gas, serta ketidaksesuaian harga menjadi sejumlah kendala utama dalam pemenuhan kebutuhan energi tersebut.
2. Potensi Impor Gas oleh Kawasan Industri
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyampaikan bahwa opsi impor gas oleh kawasan industri terbuka sebagai alternatif, apabila pasokan domestik tidak mencukupi.
“Kalau gas di dalam negeri tidak mencukupi, tidak menutup kemungkinan kawasan industri akan melakukan impor sendiri,” ujar Yuliot Tanjung, dalam keterangan pers yang diterima pada Jumat, 20 Juni 2025.
Ia menegaskan bahwa keputusan tersebut tetap akan mengikuti regulasi dan pengawasan pemerintah untuk memastikan kepentingan nasional tetap terjaga.
3. Dasar Regulasi dan Mekanisme Pengaturan
Kementerian ESDM saat ini tengah mengevaluasi beberapa peraturan yang berkaitan dengan pengadaan dan distribusi gas bumi, termasuk kemungkinan memberikan izin impor langsung kepada kawasan industri tertentu. Hal ini dilakukan untuk mendukung kelancaran operasi dan investasi sektor industri, terutama yang berada di kawasan terpencil atau yang belum tersambung dengan jaringan pipa gas nasional.
“Kami sedang mengkaji skema regulasi yang dapat memberikan fleksibilitas bagi kawasan industri, tanpa mengorbankan ketahanan energi nasional,” jelas Wamen ESDM.
Menurutnya, impor gas dapat dilakukan melalui skema LNG (Liquefied Natural Gas) dengan mendatangkan pasokan dari negara-negara penghasil seperti Australia, Qatar, atau Amerika Serikat.
4. Tantangan Pasokan Gas Domestik
Indonesia sejatinya memiliki cadangan gas alam yang cukup besar, baik dari wilayah barat seperti Sumatera dan Kalimantan, maupun dari wilayah timur seperti Papua dan Maluku. Namun, kendala utama yang dihadapi adalah terbatasnya infrastruktur distribusi gas antar pulau dan keterlambatan proyek-proyek pipa transmisi nasional.
Selain itu, kontrak-kontrak ekspor gas yang telah ditandatangani dalam jangka panjang dengan mitra luar negeri menyita sebagian besar pasokan potensial untuk kebutuhan dalam negeri. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan industri dan kemampuan pasokan aktual.
“Distribusi gas kita masih menghadapi hambatan logistik dan kapasitas infrastruktur. Di saat permintaan melonjak, penyaluran ke lokasi industri sering kali tidak optimal,” ujar seorang pejabat Direktorat Jenderal Migas yang enggan disebutkan namanya.
5. Peran Pemerintah dalam Mengatur Keseimbangan
Pemerintah menyatakan akan tetap memprioritaskan pemenuhan kebutuhan gas domestik, sejalan dengan prinsip dalam Undang-Undang Migas yang mengutamakan hasil sumber daya alam untuk kepentingan dalam negeri. Namun, dalam situasi tertentu, kebijakan yang lebih fleksibel diperlukan agar tidak menghambat produktivitas sektor industri.
“Jika kita terlalu kaku dalam regulasi, maka bisa-bisa investor kabur karena energi tidak tersedia. Oleh karena itu, opsi impor menjadi jalan tengah yang bisa diambil sementara waktu,” jelas Yuliot Tanjung.
Ia menambahkan, setiap permohonan impor gas oleh kawasan industri nantinya tetap harus melalui evaluasi menyeluruh, termasuk studi kelayakan teknis, keekonomian harga, dan jaminan tidak adanya pelanggaran terhadap kewajiban pasokan domestik (Domestic Market Obligation/DMO).
6. Respon Pelaku Industri
Kabar ini disambut positif oleh pelaku industri, terutama mereka yang beroperasi di kawasan ekonomi khusus dan pusat industri manufaktur.
“Kami berharap pemerintah membuka ruang yang lebih fleksibel agar pasokan energi tidak menghambat produktivitas. Jika ada jalur impor gas yang legal dan terjangkau, tentu ini sangat membantu,” ujar Andi Santoso, Ketua Asosiasi Kawasan Industri Jawa Timur.
Menurutnya, banyak pabrik yang beroperasi dengan konsumsi gas cukup tinggi, sehingga keberlangsungan pasokan energi menjadi faktor vital dalam efisiensi produksi dan daya saing global.
7. Proyeksi dan Langkah Lanjut
Kementerian ESDM menyatakan akan menyelesaikan pembaruan regulasi terkait pengadaan gas dan penyaluran energi industri dalam beberapa bulan ke depan. Salah satu fokus utama adalah mendorong sinergi antara penyedia infrastruktur gas seperti PGN (Perusahaan Gas Negara), SKK Migas, dan kawasan industri strategis.
Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan pengembangan skema kemitraan public-private partnership (PPP) dalam pembangunan terminal LNG mini dan fasilitas regasifikasi yang memungkinkan kawasan industri mengelola kebutuhan gas secara mandiri namun tetap terkoneksi dengan sistem nasional.
Pernyataan Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung membuka peluang baru bagi kawasan industri untuk memperoleh energi secara lebih fleksibel, melalui opsi impor gas mandiri. Kebijakan ini muncul sebagai respons terhadap meningkatnya kebutuhan energi sektor industri yang tidak sepenuhnya mampu dipenuhi oleh pasokan domestik saat ini.
Dengan tetap mempertimbangkan ketahanan energi nasional, regulasi yang ketat, serta pengawasan pemerintah, langkah ini diharapkan bisa mendorong pertumbuhan industri nasional tanpa melupakan prinsip kemandirian energi. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan penyedia infrastruktur menjadi kunci sukses implementasi kebijakan ini ke depan.