Pertambangan Nikel di Raja Ampat Termasuk 22 Kasus Ekosob yang Melanggar HAM di Papua

Senin, 16 Juni 2025 | 08:23:47 WIB
Pertambangan Nikel di Raja Ampat Termasuk 22 Kasus Ekosob yang Melanggar HAM di Papua

JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) Perwakilan Papua mengungkapkan adanya 22 kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob), yang terjadi di wilayah Papua sepanjang periode Januari hingga Juni 2025. Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey, dalam konferensi pers yang digelar di kantor perwakilan lembaga tersebut di Jayapura, Minggu 15 MEI 2025.

Temuan ini menyoroti masih kompleksnya persoalan HAM di Papua, yang tak hanya terbatas pada isu kekerasan dan konflik bersenjata, tetapi juga merambah ke sektor ekonomi, sosial, dan budaya yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat sipil, terutama kelompok rentan.

Kondisi Masyarakat Papua Masih Rentan terhadap Pelanggaran Ekosob

Frits Ramandey dalam pemaparannya menyampaikan bahwa dari 22 kasus yang ditangani Komnas HAM Papua selama enam bulan pertama tahun 2025, mayoritas menyangkut hak-hak dasar masyarakat seperti akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan yang layak, dan lingkungan hidup yang sehat. Kasus-kasus tersebut dilaporkan berasal dari berbagai kabupaten/kota di Papua, dengan tingkat kerentanan yang berbeda-beda.

“Sepanjang Januari hingga Juni 2025, kami mencatat ada 22 kasus yang berpotensi melanggar hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Papua. Ini menunjukkan bahwa persoalan HAM di Papua tidak semata-mata soal kekerasan atau pelanggaran sipil dan politik, tetapi juga menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar warga,” tegas Frits Ramandey dalam konferensi pers tersebut.

Ia menambahkan bahwa sebagian besar laporan datang dari masyarakat akar rumput, kelompok perempuan, anak-anak, serta masyarakat adat yang hak-haknya sering terabaikan dalam proses pembangunan.

Contoh Kasus: Pelayanan Publik, Perampasan Tanah, dan Lingkungan

Beberapa contoh kasus yang menjadi perhatian Komnas HAM antara lain menyangkut akses yang tidak merata terhadap fasilitas pelayanan kesehatan di daerah terpencil, penghentian program pendidikan di wilayah pedalaman, serta dugaan perampasan tanah adat oleh perusahaan yang menjalankan proyek infrastruktur tanpa persetujuan masyarakat lokal.

Selain itu, ada pula laporan mengenai kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan dan perkebunan skala besar yang berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat adat. Komnas HAM menilai bahwa dalam banyak kasus, masyarakat tidak diberi ruang untuk menyuarakan pendapat mereka sebelum aktivitas pembangunan dilakukan.

“Pembangunan di Papua tidak boleh mengorbankan hak masyarakat, khususnya masyarakat adat. Mereka memiliki hak atas tanah, ruang hidup, dan lingkungan yang lestari. Dalam banyak kasus, mereka tidak diajak bicara sebelum proyek dimulai,” ujar Frits.

Komnas HAM Desak Pemerintah dan Korporasi Hormati Prinsip-Prinsip HAM

Menanggapi temuan ini, Komnas HAM Papua mendorong pemerintah daerah, pemerintah pusat, serta pihak swasta dan korporasi yang berinvestasi di Papua untuk mematuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam setiap kebijakan dan kegiatan yang mereka lakukan. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya konflik sosial dan pelanggaran HAM yang lebih luas.

Komnas HAM juga menekankan pentingnya penerapan prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent), yakni persetujuan bebas, didahulukan, dan berdasarkan informasi yang lengkap dari masyarakat adat sebelum dilakukan pembangunan atau kegiatan ekonomi yang menyentuh wilayah mereka.

“Kami meminta semua pihak, baik pemerintah maupun swasta, agar menjalankan pembangunan dengan pendekatan yang menghargai hak-hak masyarakat. Masyarakat adat berhak menyatakan setuju atau tidak terhadap aktivitas yang dilakukan di tanah mereka,” ujar Frits Ramandey.

Pola Pelanggaran Ekosob Mengarah pada Marginalisasi

Menurut Komnas HAM, pola-pola pelanggaran hak ekosob di Papua memperlihatkan kecenderungan marginalisasi terhadap masyarakat lokal. Banyak kebijakan pembangunan, meskipun secara makro bertujuan meningkatkan kesejahteraan, dalam praktiknya belum berpihak pada kebutuhan riil masyarakat Papua. Hal ini menciptakan jurang ketimpangan yang semakin lebar antara pusat dan daerah, maupun antara masyarakat adat dan kelompok eksternal yang masuk ke Papua.

Komnas HAM menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya warganya, termasuk mereka yang berada di wilayah paling terpencil sekalipun.

“Negara harus hadir secara nyata untuk menjamin bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, mendapatkan akses terhadap hak-hak dasar. Ini adalah amanat konstitusi,” kata Frits.

Respons Pemerintah Diperlukan untuk Perbaikan Kebijakan

Komnas HAM Papua berharap agar laporan-laporan tersebut dapat menjadi masukan konstruktif bagi pemerintah daerah dan pusat dalam menyusun kebijakan ke depan, khususnya dalam pelaksanaan otonomi khusus (otsus) yang telah memasuki fase baru.

Evaluasi terhadap pelaksanaan program-program pembangunan, seperti dana otsus, pemekaran daerah otonom baru (DOB), serta program pengentasan kemiskinan, dinilai harus dilakukan dengan pendekatan berbasis HAM agar hasilnya lebih menyentuh kebutuhan masyarakat Papua secara menyeluruh.

“Kami tidak dalam posisi menghalangi pembangunan, tetapi pembangunan harus dilakukan dengan menghormati hak asasi manusia. Tanpa itu, yang terjadi adalah pembangunan yang meninggalkan luka sosial,” tegas Frits Ramandey.

Peran Komnas HAM Terus Diperkuat di Wilayah Timur Indonesia

Sebagai lembaga negara yang independen, Komnas HAM terus memperkuat peran dan kehadirannya di wilayah-wilayah timur Indonesia, khususnya Papua dan Papua Barat. Komnas HAM Papua terus menerima pengaduan dari masyarakat setiap hari dan aktif melakukan pemantauan lapangan.

Lembaga ini juga menjalin kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, gereja, tokoh adat, dan pemerintah daerah dalam rangka membangun kesadaran bersama mengenai pentingnya penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia.

Komnas HAM juga menyatakan akan melaporkan temuan-temuan ini ke Komnas HAM pusat untuk dibahas dalam laporan tahunan serta rekomendasi kebijakan kepada lembaga eksekutif dan legislatif.

Temuan 22 kasus dugaan pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya di Papua sepanjang semester I tahun 2025 mengungkap persoalan HAM yang lebih luas dan struktural di wilayah ini. Komnas HAM menilai bahwa pembangunan yang tidak inklusif dan pendekatan yang tidak berbasis pada penghormatan HAM akan memperdalam ketimpangan dan memperbesar potensi konflik sosial.

Melalui pernyataan Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey, lembaga ini menegaskan komitmennya untuk terus mengawal proses pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Papua, serta mendorong semua pihak untuk menjadikan HAM sebagai landasan dalam setiap aktivitas pembangunan.

Papua bukan sekadar wilayah geografis, tetapi rumah bagi jutaan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk hidup bermartabat, mendapatkan pelayanan publik yang layak, dan menjadi bagian dari pembangunan nasional yang adil dan berkelanjutan.

Terkini

ASUS Vivobook Pro 16X OLED N7601, Laptop Kreator Andal 2024

Rabu, 10 September 2025 | 15:45:30 WIB

Huawei MatePad 11, Tablet Murah dengan Layar Keren

Rabu, 10 September 2025 | 15:45:26 WIB

Huawei Rilis Pura 80 Series, Andalkan Kamera Canggih

Rabu, 10 September 2025 | 15:45:18 WIB

Review Acer Nitro 16, Laptop Gaming 16 Inci Bertenaga

Rabu, 10 September 2025 | 15:45:13 WIB